Tentang Sukses, Bahagia, dan Eksis

Assalamualaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh. 

Mohon izin berbagi kenangan dan pengalaman. Bukan untuk pamer-pameran, tapi untuk menegaskan bahwa memang perubahan itu mungkin adanya.

Bismillah...


Sukses, bahagia, dan eksis. Definisnya relatif. Itu benar.
Saya sudah buktikan sendiri.

Sebagai seseorang yang lahir bukan di keluarga yang serba ada, perjuangan dan pengorbanan jadi syarat wajib kehidupan kecil, remaja, dan masa muda saya.

Waktu kecil wajib rajin belajar dan dapat ranking. Waktu remaja, jangan banyak pacaran dan harus sekolah unggulan. Waktu muda, bayar kuliah sendiri lalu cari kerja yang bagus.

Semua dilakukan karena kewajiban. Meski setelah dijalani, ya nikmat juga.

Lalu perjuangan berlanjut. Mau S2, tak bisa. Karena orang tua waktu itu sedang tidak sehat. Kewajiban menyiapkan dana untuk bantu biaya pengobatan orang tua itu lebih penting daripada kuliah di Singapura (meski gratis).

Sampai suatu saat, hadiah kesabaran datang setelah puluhan tahun tak kunjung kendor berupaya. Pada usia 27 tahun, saya diminta gabung ke UNICEF, sebuah badan Persatuan Bangsa-Bangsa yang misinya meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan Ibu dan Anak. Kesejahteraan langsung meningkat. Dan almarhum Mama, tidak perlu khawatir soal uang belanja.

Begitu baiknya Tuhan, pada usia 37 tahun, saya jadi DIREKTUR! Tidak tanggung-tanggung, saya dipercaya memimpin orang di perusahaan multinasional (baca: perusahaan asing) beraset jutaan dolar. Terbesar dan terdepan di bidangnya. Reputasi perusahaan luas dikenal di industri komunikasi.
Direktur. Sebuah jabatan yang waktu kecil disebut-sebut almarhumah Mama dalam candanya bersama teman-temannya. "Nanti besar Arie mau jadi apa?" teman-teman Mama bertanya. Mama sering nyeletuk dan berkata, "Jadi Bos. Jadi Direktur," Mama tersenyum sambil menyelipkan doa. Karena Mama orang baik, Allah ijabah.

Soal sukses? Kesuksesan ala saya adalah berubah wujud dari anak kecil tukang cengeng (konon nama olokan saya "Aceng", singkatan dari Arie CENGeng) menjadi Arie Rukmantara yang karakternya jelas--suka bekerja, suka belajar, dan suka berkegiatan sosial.

Tapi benar kata orang tua. Bahagia beda dengan titel atau jabatan. Di usia saya ke-38 (esok hari) saya memutuskan untuk kembali ke jalanan, menggulung lengan kemeja, dan turun tangan. Kembali ke PBB untuk memperjuangkan nasib anak Indonesia. Pengorbanan harus kembali dilakukan:


  1. Saya tinggalkan kantor yang luas dan dingin dan berkusi empuk. Dan akan berkantor di gedung Pemda
  2. Saya tinggalkan tim yang sudah saya bina dengan kerja keras dan pengaruh terhadap ratusan orang untuk bekerja tim baru dan hanya beranggotakan empat orang 
  3. Saya harus pindah, dan memindahkan keluarga ke luar kota. Cari sekolah, cari rumah, cari tetangga baru.  


Saya mencari kebahagiaan, yang baru.

Eksis? Ya. Saya melakukan ini supaya eksis di dunia. Kenapa? Karena saya tidak mau "dianggap ada" karena keberhasilan orang lain. Lalu mencatut terus-terusan prestasi orang untuk pencitraan diri.

"Kakek saya jenderal. Tante saya penyanyi terkenal. Kakak-kakak saya pengusaha sukses. Kakak ipar dan adik perempuan saya cantik-cantik. Om saya ningrat. Teman saya, anak pejabat," dan seterusnya. Tak elok bagi saya. Itu kurang baik untuk kesehatan rohani.

Saya...ya...saya.

Beberapa hal tentang saya, misalnya:

  1. Sering kalah lomba di sekolah, tetapi pas dewasa, tiap tahun dapat piala menang penghargaan karyawan terbaik, bahkan se-ASEAN
  2. Saya tidak pernah ranking 1 dan matematika-nya jeblok semasa sekolah dulu tapi S2 nya wajib belajar Ekonomi Makro dan Statistik beserta formula-formulanya
  3. Saya tidak bisa langsung kuliah karena gak ada dana. Pernah jualan minyak goreng, jadi pelatih basket SMA di Bekasi dan tukang potong rumput di GOR Ragunan. Tapi Alhamdulillah tamat S2 dan sedang menyusun rencana S3 
  4. Saya tidak punya tabungan pendidikan dari kecil, suka nunggak SPP sejak SD sampai SMA, tapi kuliah di UI dengan keringanan dan beasiswa. Lalu  dapat beasiswa S2 ratusan juta rupiah. Dosennya Profesor dari Harvard! Skripsi dan tesis saya tentang negara lain dan dikerjakan diluar negeri. 
  5. Saya tidak punya rujukan langsung untuk menjadi ayah yang baik dan benar, tapi anak saya lulus ASI dan kini jadi salah satu pemain perkusi tercilik di tanah air.
Saya, ya Arie Rukmantara. Ya saya ini. Bukan pengikut siapa-siapa. Dan tidak perlu dikaitkan dengan kebesaran siapa-siapa. Susah ya karena nasib saya. Bahagia ya karena saya berupaya mengubah nasib.

Kebanggaan saya bukanlah mencatut-catut jabatan saudara-saudara saya, tetapi fakta bahwa keluarga saya itu kompak. Mereka saling peduli, saling menyayangi apapun bentuk, rupa, status sosial, bahkan jalan hidup anggota-anggota keluarganya. Tanpa mereka, mungkin saya tidak akan sampai di titik hidup ini. Dulu, saya bisa sekolah karena mereka, bisa makan karena mereka, bisa lebaran...ya karena mereka. Hutang budi saya ke mereka...tak terhingga. Tak  mungkin terbayarkan. Semoga Allah membuka pintu rezeki yang luaaaass sekali dan juga nantinya, pintu Surga buat mereka semua.

Jadi sukses...kemungkinan adalah tidak berhentinya kita mengubah nasib. Dan bahagia itu mungkin karena ingin melakukan sesuatu yang "pas" di hati. Serta eksis itu berarti tidak perlu berlindung dibawah nama orang lain. Bangga menjadi diri sendiri.

Semoga berkenan.

Yang benar dan sempurna adalah milik Allah. Yang salah dan kurang, saya tanggung jawab sepenuhnya.

Allahumma Thowwil Umuurona, Wa Shohhih Ajsaadana, Wa Nawwir Quluubana, Wa Sabbit Iimaananaa Wa Ahsin A'maalanaa, Wa Wassi' Arzaqonaa, Wa Ilal Khoiri Qorribnaa Wa 'Anisy-Syarri Ab'idnaa, Waqdhi Khawaa-Ijana Fiddiini Waddunyaa Wal Aakhirati Innaka 'Alaa Kulli Syai-In Qodiirun.
Ya Allah! Panjangkanlah umur kami, sehatkanlah jasad kami, terangilah hati kami, tetapkanlah iman kami, baikkanlah amalan kami, luaskanlah rezeki kami, dekatkanlah kami pada kebaikan dan jauhkanlah kami dari kejahatan, kabulkanlah segala kebutuhan kami dalam pada agama, dunia, dan akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.



Wassalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.


Komentar