Aku Iri (Catatan Ta'ziyah)

Teduh. 

Atau mendung berkepanjangan? 


Tatap matanya melancong jauh. 


Raut wajah tabah sang istri yang ditinggal suami, sang tulang punggung keluarga inti.


Dititipkan anak yang baru belajar dewasa. Belum fasih bagaimana menyusun rencana, pasca-sang suami tiada. 


Hidupnya tak pernah berlimpah, dia banyak sakit tapi tak berkeluh kesah.


Deritanya: kurang harta, sesak di dada, serta hujan tagihan yang berdatangan. Kecewanya: selisih besar antara harapan dan kenyataan--bahwa mengantar anak memiliki masa depan lebih baik, susahnya, dan mahalnya, seperti memutar pijakan bumi jadi langit.  


Saat sang suami sekarat, derita yang ditanggung badannya tiba-tiba lenyap. Asa-nya: syukuran kalau kondisi suami baikan. Tapi kini tak pernah bakal kesampaian.  


"Salam hangat Cinta. Sampaikan terima kasih saat kau berjumpa Yang Maha Kuasa," mungkin itu bisik sang istri di tepi liang lahat, saat sang suami pergi "menghadap".


Air matanya belum kering, dia sebeanrnya masih bisa menitip titik air di ujung kerling.  Namun disudahinya berkabung, disimpan duka untuk ditabung. Pertanda ikhlas yang tak pakai tanda tanya, bisik seorang sobat cendekia.  


Kau, wanita mulia, tabah sekali. Aku iri. Semoga Allah memberkati. 

*catatan melayat juru mudi kantor tadi malam*

Komentar