Sepenggal Kisah Satu Tahun Amerikanya Obama
Oleh Arie Rukmantara

Seorang pejabat tinggi Amerika Serikat, mengatakan,”I am glad that we (baca: hubungan Amerika-Indonesia) are not Obama’s one of emergencies because that means we are a problem, and we are not.”

Pejabat tersebut adalah David Merrill, mantan diplomat yang kini mengepalai US-Indonesia Society atau kerap dikenal sebagai USINDO. Dia menggarisbawahi bahwa Presidennya, Barack Obama, menghabiskan satu tahun pemerintahannya menangani berbagai masalah yang tingkatnya gawat darurat.

Dalam forum yang diberi judul “USINDO Open Forum”, David memperkenalkan seorang intelektual yang mengevaluasi satu tahun Pemerintahan Obama: Dr. Michael Hannahan.

“People want the US to be a better thing,” kata Sang Dosen Ilmu Politik dari Massasuschets University ini, merujuk pada impresinya terhadap aspirasi orang diluar Amerika Serikat, termasuk aspirasi orang Indonesia.

Maka dari itu, langkah-langkah administrasi Obama sangat diperhatikan oleh warga dunia. Sayangnya, ada beberapa peristiwa dalam Pemerintahan Obama yang tidak akan dapat dimengerti oleh orang non-Amerika atau bahkan oleh orang Amerika awam sekalipun.

Banyak dari kita tidak mengerti jurang yang besar antara “hope” (harapan) dan “reality” (kenyataan) yang dihadapi Obama. Dengan ilustrasi lukisan Plato dan Aristoteles berjalan berdampingan, yang mewakili simbol harapan (Plato) dan kenyataan (Aristoteles), Michael menjelaskan bahwa popularitas Obama adalah harapan dan realitas politik yang sekarang terjadi di Amerika Serikat adalah kenyataan.

Kenyataan menunjukkan bahwa modal Obama, yang kemenangannya diperkuat dengan direbutnya mayoritas kursi senat dan kongres Amerika oleh Partai Demokrat, tidak punya korelasi positif terhadap politik tingkat bawah, politik di negara bagian. Buktinya, banyak kursi senat demokrat yang direbut oleh republik.

Fakta terkini, calon republik, Scott Brown, berhasil memenangi kursi senat Massasuschets yang kosong ditinggalkan almarhum Ted Kennedy, seorang demokrat tulen.
Michael menyebutnya “divorce between the president’s popularity and lower grass root support”.

Dalam konteks politik domestik, popularitas Obama menurun karena kebijakan paket stimulus, yang bearti menolong Si Kaya agar tetap “kaya”. Dan yang teranyar dan paling mengganjal, Rancangan Undang-Undang Jaminan Kesehatan atau Health Care Bill.

Agak mengherankan modal Senat dan Kongres yang dikuasai Demokrat tidak berhasil mengusung RUU ini menjadi sebuah undang-undang yang disahkan. Bahkan lebih mengherankan ketika rakyat Amerika pada detik ini, menurut Michael, semakin tidak peduli dengan debat yang terjadi di kongres mengenai RUU ini.

“The longer they (baca: kongres) talk, the more detailed it gets, the less people paid attention to,” terang Michael.

Prinsipnya, menurut mantan konsultan politik ini, orang Amerika tidak ingin jaminan kesehatan yang sudah dimiliki diutak-atik dengan konsep jelimet dan panjang proses politiknya.

Kompromi antara Partai Republik dan Demokrat kemungkinan belum bisa terwujud dalam waktu dekat, karena, menurut Michael, Republikan tidak punya niat sama sekali mengesahkan, atau bahkan, mengajukan perubahan dalam RUU ini.

Kenyataan pahit yang harus diterima ialah digunakannya ancaman untuk melakukan “filibuster”, sebuah proses debat maraton yang berkepanjangan untuk menunda sebuah proposal untuk dibahas secara serius dan menempuh proses pengambilan suara, dan akan hanya diakhiri ketika salah satu partai menyatakan menyerah dan tidak ingin melanjutkan debat. Bahkan ada adagium popular di kalangan penolak RUU, “let’s filibuster it till death.”

“Our political system is broken,” begitu kata-kata penutup Michael, mewakili frustasinya terhadap kenyataan politik yang luar biasa mengherankan bagi cendekiawan asal Ohio ini.

Agaknya modal politik tidak selalu sama dengan kemenangan politik. Kenyataan ini terjadi di Amerika Serikat dan tidak bisa dipungkiri, terjadi disini, tanah air tercinta.

Naiknya popularitas Obama, dan mungkin juga SBY, tergantung pada masa depan yang tidak dapat diduga. Teorinya, mereka butuh sebuah perang, bencana besar atau krisis lainnya, untuk menunjukkan kapabilitas kepemimpinan mereka, ujar Michael dan diamini oleh David dan banyak peserta forum tersebut.

Pencitraan media belum tentu dapat menolong mereka. “It is hard to explain details through the media,” terang Michael.

Pada akhirnya, diskusi ditutup dengan kalimat mujarab, yang juga doa yang seharusnya dipanjatkan Obama dan SBY...“time will determine the fate of their leaderships.”

Komentar