Sepuluh Selalu

10 10 10
Ubud
Pagi buta

“Sepuluh,” ujar buah hati menamatkan hafalan deretan angka pertamanya. Dua tahun umurnya, prestasi luar biasa memiliki putra secerdas dia.

Tapi nukilan ini bukan tentang dia.

“Sepuluh,” ujar ibu guru dulu. Angka sempurna bagi siapa saja di kelasku yang berani maju.

Tapi coretan ini pun bukan tentang sekolahku atau ibu guru.

Pada angka “Sepuluh” di bulan “Sepuluh”, 31 tahun yang lalu. Tuhan memutuskan menciptakan insan yang akan mengubah seluruh perjalanan hidup sekelompok orang.

Seorang pegawai perusahaan minyak asing berteriak girang mendapatkan putri pertamanya. Seorang wanita keturunan Jawa, namun besar di Sumatera, menghela nafas lega setelah berhasil mengantarkan Si Bayi keluar dari rahimnya.

Sepasang veteran perang bergemira ria menyambut kedatangan cucu pertama mereka.

Dua keluarga besar berseru-seru terharu-biru mendapatkan anggota baru.

Dia lahir sempurna. Diiringi azan dan iqomat dari bibir Sang Ayahanda.

“Rambutnya hitam ikal bergelombang,” ujar salah satu saudara.
“Kulitnya putih bersih,” bak bengkoang halus yang dikuliti dengan jari, cetus salah satu sepupu.
"Dagunya runcing," celetuk seorang lagi.
Hidung mancung tercenung. Mata teduh siap menyapu sendu. Paras jelita dan senyum juara. Dia lahir ke dunia untuk tertawa. Untuk bahagia. Dan membahagiakan sesama.

“Cantik nian ini jelita,” gumamku penuh ragu, ingin berkenalan tapi malu. Itu 16 tahun yang lalu. Saat seragamku masih putih abu-abu. Menatapnya aku tersipu. Meski saat itu… kental sekali kamuflase kelaki-lakiannya. Kawan-kawanku bilang dia tomboy. Tapi tetap…berparas jelita.

Tiga tahun dia menikmati masa muda nan ceria. Saat itu aku masih bisa menatap dan mengaguminya, meski dia tak tahu menahu. Paling tidak, aku pernah miliki fotonya dan kupajang di dinding kamar tua nan setia.

Kadar kelaki-lakiannya menyurut saat bertemu kembali empat tahun kemudian. Hanya untuk beberapa detik yang penuh kenangan.

Di tengah hiruk-pikuk krisis negara dan ramainya gerakan melantangkan suara, aku berpapasan di jalan di tahun 98 di Salemba, di kampus bersejarah yang mencatat berbagai peristiwa.

“Dia makin jelita,” masih gumamku ragu memulai sesuatu.

Lalu selang beberapa sobekan kalender, tiba sebuah momentum yang strike me like a thunder (kaget luar biasa).

Tak diduga tak dinyana. Telpon genggam berdering dan mengeluarkan suara surga, “maukah menghabiskan waktu tuk bicara?”

Kata “Ya” mengubah segalanya.

Bahkan berhasil membunuh ragu di dada.

“Bersediakah kau...jadi...hhhmmm...pacar?” mulut ini menyeru setelah beberapa waktu kepala mengaduk-aduk segala kemungkinan berkata mutiara. Dan hati sudah tak mau lagi mencari—sudah bertemu pujaan hati.

Lagi-lagi, kata “Ya” mencipta sejarah.

“Dia makin jelita,” teriakku, kali ini tak lagi bergumam.
Hari demi hari kunikmati romantika memadu hati dan kata dengannya. Kini nyali makin menjadi-jadi.

“Hai semua orang! Hai dunia! perkenalkan…Si Jelita…tambatan jiwa Arie Rukmantara,” teriakku lantang sesaat setelah mengucap,”Saya terima nikahnya Eka Faradhila…” dan disoraki “Sah!”

Dalam kejapan mata, Si Jelita menjadi Nyonya Rukmantara.

Dia mempersembahkan anak ajaib Tubagus Areli Rashad Rukmantara, yang banyak dipuja banyak manusia meski usia baru dua.

Keputusan Tuhan 31 tahun yang lalu, mengubah banyak cerita. Mewarnai banyak tawa dan canda. Menghadirkan sosok Si Jelita di bingkai foto di meja kerja, di almari buku, di tempelan kulkas, di layar HP, dimana-mana. Terutama di hati dan kepala.

Hari ini, Si Jelita tersolek molek di Pulau Sejuta Dewa. Menikmati indahnya karunia Sang Kuasa sembari menemani suaminya bekerja dan mengajari anaknya berkelana.

Dia juga punya agenda tentunya, dia bukan anggota kelompok “kelamin kedua”, dia adalah manusia swadaya—punya keputusan dan tujuan.

Puji Tuhan, Penguasa Sekalian Alam, aku dan anakku ada dalam daftar pilihan prioritasnya.

Dia sudah bermetamorfosa. Membisakan apa yang belum pernah. Menegaskan tekad untuk selalu sehat. Mengembangkan minat menjadi pintu menuju meraih status konglomerat. Menebalkan peduli untuk selalu berbagi. Dan berjanji saling mengingatkan untuk selalu berbakti dan memuji Illahi Robbi.

Hari ini tak mungkin lagi terjadi, 10-10-10. Tiga deretan kesempurnaan, kata ibu guru dulu.

Dan…jam 10 nanti pun Si Jelita akan menikmati indahnya alam terbuka dikombinasi dengan perawatan khas bidadari. Selamat menikmati sayang.

Salah satu pelatih hidupku menganjurkan agar berdoa akan kelimpahan, kesuksesan, kebahagiaan dan menyadari bahwa 10 adalah simbol dari Tuhan yang 1 dan aku yang 0, tiada arti tanpa yang sebelumnya.

Aku setuju. Subuh tadi ku panjatkan doa memohon hidup yang penuh kegembiraan dan kegemilangan. Amin.

Hari ini hari berdoa dan hari bersyukur pada Sang Pencipta.

Tiga dekade plus satu tahun yang lalu, Tuhan memutuskan melahirkan Si Jelita ke dunia dan kemudian mengizinkan aku dan dia untuk bersama. Untuk bahagia. Persis seperti tujuan kelahirannya.

“Sepuluh” (baca: sempurna) untuk selalu.

Selamat Ulang Tahun Istriku. Allah Subhanahu Wa Ta Ala memberkahimu.

Komentar

  1. Subhanallah
    Kata-katanya menghipotis :)

    semoga Allah kekalkan cinta Ka Arie dan Ka Echal hingga ke SurgaNya. Aamiin

    BalasHapus
  2. Rie, what a great post about Echal. As a friend of both of you, am truly happy to see that you and Echal have found each other and happily married. God is really great yah, Subhanallah. I'm smiling when reading this post. You're such a sweet hubby for her. Great works also that you have done so far. Keep up the good spirit. Salam buat Echal dan Wonder Boy ya.... :)

    BalasHapus

Posting Komentar