Rabies...Riwayatmu Dulu


Rabies merupakan penyakit yang punya catatan sejarah panjang di Indonesia. Penyakit yang secara harfiah berasal dari bahasa Latin, rabere atau rabia ini ikut mewarnai perjalanan bangsa Nusantara ini. Sebutan rabies ini pada awalnya diperkirakan berasal dari bahasa Sansekerta kuno, rabhas. Artinya mengamuk, karena gejala klinisnya, terutama pada anjing, ditandai dengan amukan ganas yang menakutkan. Di Indonesia, penyakit ini juga dikenal luas dengan sebutan penyakit “anjing gila”.

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang ditakuti di dunia. Rabies telah dikenal di Babilonia sejak zaman Hammurabi atau sekitar tahun 2300 SM, yang menerapkan denda 40 shekel terhadap pemilik anjing jika anjingnya menggigit seseorang yang kemudian meninggal dunia.

Negara yang paling progresif dalam memerangi penyakit ini adalah Inggris. Inggris pernah tertular rabies sejak tahun 1026. Setelah berbagai kebijakan dikeluarkan, antara lain Metropolitan Streets Act (1867), Rabies Order (1887), kemudian Act of Parliament (1897). Inggris terbebas dari rabies pada tahun 1903.[1]

Investigasi ilmiah pertama terhadap rabies dilakukan oleh Louis Pasteur, seorang ilmuwan Prancis. Dia berhasil membuktkan bahwa kebanyakan penyakit disebabkan oleh vektor penyakit. Setelah percobaannya terhadap penyakit antraks, sejak tahun 1882, ia melakukan studi mendalam tentang penyakit rabies. Percobaan pertama ia lakukan terhadap seorang anak kecil yang digigit anjing gila.

Di Indonesia, rabies diketahui ada sejak era kolonial Belanda. Rabies di Indonesia pertama kali ditemukan pada hewan ternak. Rabies menyerang ternak kerbau yang kemudian diketahui oleh J.W. Esser pada tahun 1884. Pada tahun 1889, Penning menulis laporan tentang adanya gejala rabies pada anjing. Sedangkan rabies pada manusia pertama kali ditemukan oleh E.V. de Haan pada tahun 1894. Ketiga kasus tersebut ditemukan di Jawa Barat.

Sebelum Perang Dunia II, selain di Jawa Barat, rabies hanya diketahui di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Pada kurun waktu tahun 1945-1980, rabies dilaporkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 1953, Sulawesi Utara tahun 1956, Sumatera Selatan tahun 1959, Lampung tahun1969, Aceh tahun 1970, Jambi dan Yogyakarta pada tahun 1971, Jakarta dan Bengkulu tahun 1972, Kalimantan Timur tahun 1974, Riau tahun 1975, Kalimantan Tengah tahun 1980, Kalimantan Selatan tahun 1983, dan Pulau Flores, NTT tahun 1997.

Laporan yang bervariasi tentang penyebaran penyakit ini disinyalir akibat masa inkubasi rabies yang cukup lama. Sehingga seseorang bisa saja membawa anjing yang diduga sehat dari daerah yang tertular rabies ke daerah yang masih bebas. Pola seperti inilah yang menyebabkan rabies menyebar dari satu daerah ke daerah lain.

Penanggulangan Rabies Era Kolonial

Sejak ditemukannya rabies pada manusia oleh oleh E.V. de Haan pada tahun 1894, pemerintah kolonial Belanda mulai melakukan upaya penanggulangan terhadap penyakit ini. Upaya pemerintah kolonial terhadap penanggulangan rabies secara formal telah dilakukan sejak tahun 1920-an. Saat itu dikeluarkan peraturan mengenai rabies, yaitu Hondsdolheids Ordonantie (Staatsblad 1926 No. 451 yo Staatblad 1926 No. 452).[2]

Upaya kuratif yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap penanggulangan penyakit menular di Hindia Belanda sebenarnya bisa ditarik dari perkembangan jawatan kesehatan yang didirikan sejak tahun 1800-an. Sejak itu unit kesehatan yang paling baik ada pada unit kesehatan militer. Usaha kesehatan sipil mulai diadakan pada tahun 1809, dan Peraturan Pemerintah tentang Jawatan Kesehatan Sipil dikeluarkan pada tahun 1820. pada tahun 1827 kedua jawatan digabungkan dan baru pada tahun 1911 ada pemisahan nyata antara kedua jawatan tersebut. Upaya-upaya kuratif atau pengobatan terhadap penyakit menular dilakukan di rumah sakit - rumah sakit zending (misi keagamaan Kristen) atau Zendingsziekenhuis yang tersebar di beberapa kota di Jawa.

Sebagai upaya preventif, pemerintah koloial melakukan serangkaian penelitian mengenai vaksin-vaksin sebagai pengendali virus penyakit. Pada tahun 1896 didirikan Parc Vaccinnogen Instituut Pasteur, Bandung. Dengan berdirinya institut tersebut, di tahun 1918, lembaga pembuatan vaksin dipindahkan ke Bandung. Lembaga ini bersatu dengan Instituut Pasteur dan berubah nama menjadi Landskoepok Inrichting en Instituut Pasteur.[3]

Institut ini pada mulanya merupakan bagian dari rumah sakit militer di Batavia dan hanya memproduksi vaksin cacar. Namun sejak ditemukannya penyebab rabies, kegiatan pembuatan vaksin cacar selalu beiringan dengan pembuatan vaksin rabies. Kelak, institut ini menjadi PT. Biofarma yang merupakan produsen berbagai vaksin, termasuk vaksin rabies di Indonesia. Penemuan penting vaksin rabies di Indonesia terjadi pada tahun 1930. Saat itu, Maria van Stockum berhasil membuat vaksin rabies yang diinaktifasi dengan formalin dan berasal dari otak kera.[4]

Penanggulangan penyakit rabies sebenarnya tidak mendapat porsi besar dalam kebijakan pemerintah kolonial. Saat itu, penyakit yang mendapat porsi penanggulangan terbesar adalah penyakit-penyakit yang paling banyak membunuh manusia. Seperti cholera, longtuberculose (TBC paru), tipus, malaria, dan disenteri.[5]

Ketika masa pendudukan militer Jepang, tak ada upaya untuk menanggulangi penyakit yang menjangkiti rakyat. Upaya kuratif maupun preventif terhadap penyebaran rabies tak berlanjut. Hal ini karena pemerintahan pendudukan Jepang sibuk dan lebih fokus untuk menitik beratkan arah kebijakannya pada kegiatan militer sebagai upaya untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya.

Penanggulangan Rabies Era Indonesia Merdeka

Pada masa demokrasi terpimpin yaitu sekitar tahun 1959-1965, dilakukan berbagai usaha preventif untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan, antara lain dengan peningkatan produksi vaksin cacar, kolera typhus, difteri, pertusis, rabies dan lain-lain.

Di Indonesia, produksi obat dilaksanakan oleh pabrik pemerintah serta perusahaan negara dan swasta. Sebagian besar dari pabrik-pabrik ini hanya melaksanakan assembling. Hal ini dikarenakan bahan pokok pembuatan obat tersebut berasal dari luar negeri. Salah satu pabrik obat pemerintah yang memproduksi vaksin rabies adalah PN Biopharma.[6]

Salah satu langkah preventif dalam usaha untuk mengendalikan penyakit menular adalah karantina, disamping usaha-usaha higiene dan sanitasi. Sampai tahun 1962, usaha karantina dilaksanakan berdasarkan ordonansi karantina (Lembaran Negara No. 277 tahun 1911) yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. maka dikeluarkan Undang-undang No. 1 tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-undang No.2 tahun 1962 tentang Karantina Udara.

Dalam pelaksanaannya, urusan karantina masuk dalam tugas Dinas Kesehatan Pelabuhan, baik laut maupun udara. Sesuai pula dengan International Sanitary Regulation dari WHO, tindakan urusan karantina mencakup: pemeriksaan awak kapal dan penumpang dari kapal laut dan udara, yang datang dari luar negeri dan dari pelabuhan-pelabuhan yang ketularan. [7]

Pada tahun 1965, organisasi Departemen Kesehatan mengalami perubahan mendasar, yaitu dengan dibentuknya beberapa direktorat jenderal (ditjen) sebagai unit pelaksana teknis. Untuk itu, Departemen Kesehatan membentuk Direktorat Jenderal Krida Nirmala, yang artinya “kerja untuk menghilangkan penyakit”, sebagai unit pelaksana teknis bidang penyakit menular.[8]

Pemberantasan penyakit menular pada kurun waktu 1966 sampai dengan 1975 terutama ditujukan untuk memutuskan rantai penularan penyakit. Dalam menentukan penyakit-penyakit apa yang harus diberantas, faktor yang digunakan adalah berupa: 1) Ikatan perjanjian dengan luar negeri (International Health Regulation) yang dituangkan dalam undang-undang karantina (cacar, kolera, pes). 2) peyakit-penyakit lain yang timbulnya sebagai wabah dan perlu diambil tindakan-tindakan seperlunya seperti antraks, demam berdarah, dan penyakit zoonosis lain. Dan penyakit-penyakit yang perlu dipersiapkan penanggulangannya dengan mengadakan survei, studi dan percobaan pemberantasan.

Sebagai kegiatan penunjang pemberantasan penyakit menular telah dibentuk unit pengamatan epidemiologi (epidemiological surveillance) di 26 provinsi serta diadakan penyempurnaan dan pengembangan sistem pengamatan (surveillance system) terhadap pemberantasan penyakit menular di provinsi-provinsi tersebut. Selain itu ditingkatkan kemampuan masing-masing Dinas Kesehatan Pelabuhan sesuai dengan International Health Regulation (IHR) melalui rehabilitasi/pembangunan gedung, penyediaan peralatan dan angkutan serta latihan tenaga.[9]

Dalam perkembangan selanjutnya, kebijaksanaan dan langkah-langkah usaha ini sebanyak mungkin dintegrasikan ke dalam kegiatan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Sejak itu, pemberantasan penyakit rabies mengalami kemajuan: jumlah orang yang digigit hewan dan mendapat pengobatan/vaksinasi menurun. Hal ini disebabkan antara lain lebih banyak pemberian vaksin anti-rabies kepada hewan, perbaikan dalam sistim pelaporan dan pencatatan, serta adanya kesadaran dan kerja sama para petugas yang makin baik. Pada tahapan selanjutnya, pemberantasan penyakit rabies dilaksanakan kegiatan imunisasi dan pegobatan penderita.[10]

Tak ada program pengendalian penyakit yang dapat berhasil tanpa koordinasi yang baik dari usaha-usaha preventif dan kuratif. Keduanya merupakan dua sisi mata uang yang saling mempengaruhi. Fakta bahwa vektor dari rabies adalah hewan piaraan manusia seperti anjing dan kucing merupakan tantangan tersendiri bagi usaha pengendalian rabies. Ditambah dengan kenyataan anjing-anjing liar yang banyak berkeliaran.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) telah melakukan penelitian pada kurun 1980-an dan 1990-an di beberapa negara dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda (Tunisia, Sri Lanka, Ekuador, Maroko, Nepal, Zambia, Turki) yang hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kejadian rabies di negara-negara Asia dan Afrika sangat tinggi dan masalahnya menjadi lebih sulit karena kurangnya infrastruktur dan biaya untuk pengendalian rabies.[11]

Tanpa penyelesaian yang jeli, akurat, dan berkelanjutan serta komitmen anggaran berjangka panjang dari pemerintah selaku pemegang otoritas kebijakan terhadap kesehatan rakyat, penyakit ini akan sulit untuk dikendalikan.

Jangan sampai ucapan Prof. A.A. Ressang, mantan Guru Besar Kesehatan Masyarakat Veteriner UI (sekarang IPB) tahun 1960, menjadi kenyataan. Beliau mengungkapkan bahwa rabies adalah “The Incurable Indonesian Wound” (Luka Indonesia yang Tak Kunjung Sembuh).


Anonim. Rabies, Luka Indonesia yang Terus Kambuh. dalam

http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=article&sid=312. diakses pada Jumat, 11 Juni 2010, pkl. 08.42

Ibid,

Departemen Kesehatan RI. 2007. Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI. hlm.4

Anonim. Sejarah Berdirinya Biofarma. dalam http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=2. diakses pada Sabtu, 12 Juni 2010 pkl 12.45

A.A Loedin. Keadaan Kesehatan di Batavia (bagian II) tanpa data publikasi. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. dalam http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/top-1.html diakses pada Minggu, 13 Juni 2010 pkl. 08.46.

Departemen Kesehatan RI. Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia. Jilid 2. Depkes RI. 1980

Ibid, hal. 129.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL Departemen Kesehatan RI. Hlm 18.

Ibid, hal. 49

Ibid, hal. 65-68

Ison Idris. Memberantas Rabies. 2 Februari 2010. dalam http://kesehatan.kompasiana.com/2010/02/02/rabies/. diakses pada Jumat, 11 Juni 2010, pkl. 10.09

Komentar