Taaruf-an dengan Komnas Zoonosis

Oleh: Arie Rukmantara

Pada kesempatan langka, pada rapat koordinasi nasional (rakornas) terakhir Komite Nasional Pengendalian Flu burung dan Kesiapsiagan Menghadapi Pandemi Influenza (Komans FBPI), tepat beberapa hari sebelum lembaga itu membubarkan diri, puluhan ahli kesehatan manusia dan hewan berkumpul disebuah ruang pertemuan di sebuah hotel di Jakarta, merumuskan masa depan peperangan terhadap flu burung dan penyakit bersumber hewan (zoonosis) lainnya.

Kepergian Komnas FBPI menandakan tantangan baru bagi negeri ini, tantangan menghadapi ancaman zoonosis tanpa lembaga khusus.

Hampir semua ahli yang berada di ruangan tersebut sepakat bahwa setelah enam dekade berdiri, republik ini perlu lebih serius menangani isu-isu kesehatan masyarakat. Mereka berpendapat bahwa saat ini diperlukan kelembagaan permanen yang mampu memberdayakan dan mengharmoniskan upaya pengendalian berbagai penyakit zoonotik.

Para ahli berpendapat bahwa kehidupan kesehatan masyarakat dan kelancaran aktivitas ekonomi terkait erat dengan sukses atau gagalnya pemerintah dan segenap komponen masyarakat Indonesia merespon sebuah wabah zoonosis.

Kasus flu burung sudah membuktikannya. Virus mematikan tersebut sudah endemis di seluruh Indonesia, kecuali di Maluku Utara, Gorontalo, dan Kalimantan Barat, yang baru saja dinyatakan bebas flu burung. Namun 30 lainnya masih merupakan wilayah endemik H5N1 pada unggas dan13 diantaranya masuk kategori endemik flu burung pada manusia. Di awal tahun ini, di wilayah Jabodetabek saja, telah dilaporkan beberapa kasus terkonfirmasi dengan korban meninggal dunia.

Sedangkan data dari Kementerian Pertanian, sejak 2003 sampai dengan 2009, terdapat 17,5 juta ekor unggas mati dengan tingkat kerugian ekonomi diasumsikan mencapai Rp 4,7 triliun.

Para pakar kesehatan manusia dan hewan berargumen bahwa keberadaan kelembagaan Komnas Zoonosis wajib hukumnya. Dalam satu dekade terakhir, sekitar 70 persen penyakit menular baru atau yang muncul kembali (emerging dan re-emerging diseases) bersumber dari hewan dan sebagian besar penyakit ini berpotensi menyebabkan pandemi (wabah raya).

Memang Komnas Zoonosis akan diarahkan untuk lebih banyak menjalankan fungsi koordinatif, namun extraordinary situations call for extraordinary measures (situasi luar biasa membutuhkan tindakan luar biasa). Lembaga baru nanti juga sebaiknya bersifat implementatif: dalam keadaan darurat, Komnas Zoonosis berfungsi sebagai pusat komando operasi pengendalian kejadian luar biasa berupa bencana kesehatan.

Jalan yang ditempuh para birokrat dan ahli tidak akan mulus begitu saja. Pengesahan badan baru tidaklah mudah. Selain ada konsekuensi penganggaran, dukungan segenap masyarakat, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat pun sangat penting didapatkan.

Namun kabar baiknya peluang komnas baru tersebut lahir cukup besar karena menurut catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pengendalian zoonosis sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014. Dengan demikian, usulan anggaran Komnas Zoonosis dapat segera diajukan setelah peraturan presiden tentang pembentukan Komnas Pengendalian Zoonosis diterbitkan.

Rakornas juga mengusulkan agar tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Komnas Zoonosis menyempurnakan tupoksi Komnas FBPI, antara lain menyusun kebijakan dan langkah strategis pengendalian zoonosis, rencana strategis nasional pengendalian zoonosis, dan pedoman umum pengendalian zoonosis. Dan tentunya, penguatan kompetensi pemerintah propinsi dan kabupaten/kota dalam melaksanakan pengendalian zoonosis di daerah, juga perlu dimasukkan dalam program kerja komnas baru tersebut.

Agak sedikit berbeda dengan struktur organisasi Komnas FBPI yang beranggotakan 17 menteri plus Panglima TNI, Kapolri, dan Kepala PMI, Komnas pengendalian Zoonosis, diusulkan terdiri dari Komite Pengarah (steering committee) diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Kemudian program kerja sehari-hari Komnas Zoonosis akan disokong oleh sebuah Komite Pelaksana (organizing committee) yang diketuai oleh sekretaris komite pengarah, beranggotakan pejabat/pegawai negeri sipil di lingkup kementerian, lembaga nonkementerian terkait serta anggota organisasi profesi medik dan veteriner.

Lapisan terakhir yang diusulkan ialah dibentuknya sebuah panel ahli atau advisory board yang bersifat fungsional, diangkat dan diberhentikan oleh ketua komite pengarah. Para anggota panel ahli adalah akademisi, peneliti, atau perwakilan organisasi profesi dari berbagai disiplin ilmu dan bidang kerja.

Pekerjaan rumah berikutnya ialah walk the talk, mengejawantahkan ucapan dan tulisan. Dengan berbagai pertimbangan yang sudah diuraikan diatas, sudah tak layak negeri ini memperlakukan rumusan para ahli sebagai hanya sekedar tinta emas diatas kertas kerja. Sebagaimana berulang kali diucapkan anak-anak negeri ini: “Kami butuh bukti, bukan janji.”

Arie Rukmantara adalah penggiat komunikasi kesehatan dan lingkungan. Beliau pernah menjadi konsultan UNICEF Indonesia untuk program pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza dari tahun 2006 sampai dengan 2009 dan kemudian menjadi staf ahli komunikasi Komnas FBPI mulai Oktober 2009-Maret 2010.

Komentar