Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Dunia

Awal Mula

Dipermulaan awal abad ke-19, dunia dilanda sebuah wabah penyakit yang merenggut lebih banyak nyawa dalam waktu yang cepat dibandingkan sejarah wabah penyakit apapun. Di tahun 1918, sebuah wabah raya (pandemi) influenza merebak di seluruh penjuru dunia, dimulai dari Benua Eropa, lalu menyebar ke Amerika, Asia, Afrika dan Australia. Praktis, hampir seluruh populasi dunia saat itu, yang diperkirakan mencapai 3 miliar penduduk, terkena dampak wabah raya tersebut, baik terjangkit langsung, meninggal dunia atau terkena dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi.

Pandemi Influenza adalah wabah penyakit Influenza yang menjangkiti hampir seluruh negara di dunia. Sedangkan menurut Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Pandemi Inflluenza (Komnas FBPI), Pandemi Influenza adalah wabah penyakit influenza yang menjangkiti hampir seluruh negara di dunia, mampu menimbulkan komplikasi kematian.

Sedangkan menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization), pandemi influenza bermakna:

A pandemic is a worldwide epidemic of a disease. An influenza pandemi may occur when a new influenza virus appears against which the human population has no immunity.

Sebuah kondisi pandemi ialah terjadinya epidemi penyakit di seluruh dunia. Pandemi Influenza terjadi apabila sebuah virus influenza baru muncul dan menjangkiti populasi manusia yang belum memiliki kekebalan tubuh terhadap virus baru tersebut.

Pandemi Influenza 1918 adalah suatu kondisi dimana virus influenza tipe A dengan subtipe H1N1 berhasil menyebar ke seluruh dunia. Virus H1N1-1918 tersebut diperkirakan menjadi virus influenza terganas dalam sejarah manusia. Virus tersebut membunuh lebih banyak orang dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, lebih banyak dibandingkan dengan wabah Black Death yang berlangsung selama empat tahun di abad ke-14. Pandemi Influenza membunuh lebih banyak orang dalam kurun waktu 24 minggu dibandingkan dengan penyebaran AIDS selama 24 tahun.

Perkiraan konservatif menyatakan kemungkinan 20 sampai dengan 40 juta orang meninggal, bahkan ada juga yang memperkirakan 100 juta orang meninggal. Bahkan ada yang memperkirakan sepertiga populasi dunia terjangkit influenza. Daya bunuhnya tinggi, 1 diantara 20 orang yang terjangkit meninggal dunia, delapan kali lebih ganas dibandingkan wabah flu musiman. Mereka yang tewas karena flu ini berusia sekitar 20 hingga 40 tahun.

Estimasi jumlah korban yang ada akibat pandemi ini diperkirakan antara 20-50 juta orang. Akan tetapi jika kita perhatikan lebih seksama, perkiraan jumlah korban ini juga masih patut dipertanyakan. Mengapa? Pertama, kondisi dunia saat itu sedang mengalami Perang Dunia Pertama (1914-1918), menyebabkan program sensus dan pendataan masyarakat tidak berjalan dengan baik.

Kedua, pada tahun-tahun tersebut jasa pelayanan kesehatan masyarakat belum sebaik saat ini, sehingga data pasien dan penyakit dipastikan tidak akurat. Dan kemungkinan besar tidak semua orang dapat dengan mudah mendapatkan pelayanan kesehatan ketika mereka sakit. Oleh karena itu, kemungkinan bahwa korban Pandemi Influenza 1918 dapat berjumlah lebih besar dari yang diperkirakan banyak ahli. Akan tetapi, kebanyakan peneliti setuju untuk menyebutkan jumlah korban yang tewas akibat wabah ini berkisar antara 20-50 juta orang.

Meskipun catatan sejarah yang tersedia tentang Pandemi Influenza 1918 lebih banyak menyoroti dampak yang terjadi di Eropa dan Amerika, menurut Farndon, Asia juga mencatat jumlah korban yang besar. Diperkirakan 20 juta orang meninggal di India saja, dan kemungkinan di Cina terdapat 10 juta orang korban meninggal. Iran diperkirakan mencatat kematian dari seperempat populasinya pada waktu itu.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kebanyakan peneliti percaya bahwa Pandemi Influenza 1918 ini mulai menarik perhatian orang karena dianggap berasal dari Amerika Serikat.

Pada bulan Maret 1918, terdapat laporan mengenai sejumlah serdadu yang terkena penyakit influenza di Fort Riley, Kansas. Dalam waktu singkat, jumlah pasien melebihi 500 orang, bersamaan dengan laporan ditemukannya gejala-gejala pneumonia atau radang paru-paru. Pada akhir bulan itu, lebih dari 200 orang lagi dilaporkan terkena pneumonia dan lebih dari 40 orang diantaranya meninggal dunia. Di tahun 1918, kematian yang tinggi akibat pneumonia bukanlah suatu hal yang wajar.

Beberapa ahli kesehatan awalnya memperkirakan bahwa penyakit ini kemudian mulai menyebar, tidak hanya ke seluruh daratan Amerika saja, tetapi juga menuju ke Benua Eropa. Penyebaran influenza ini ke Eropa diperkirakan bersamaan dengan pengiriman pasukan Amerika Serikat ke Eropa sebagai bentuk keikutsertaan mereka dalam Perang Dunia I. Penyebaran penyakit influenza ke Eropa ini dianggap sebagai gelombang pertama dari pandemi tersebut.

Namun laporan lain yang mengatakan bahwa sebenarnya influenza H1N1-1918 ditemukan pertama kali di Eropa setelah dilaporkannya kasus influenza pada salah satu resimen tentara Amerika Serikat di Perancis pada pertengahan Mei 1918, dan kemudian dengan cepat menulari tentara Perancis dan Inggris. Pada bulan yang sama wabah ini sampai di Spanyol, yang pada masa perang tersebut merupakan negara yang netral, tidak terlibat dalam perang. Dengan segera, wabah flu tersebut disebut Flu Spanyol.

Penyebutan Pandemi Influenza 1918 sebagai Flu Spanyol dikarenakan beberapa hal: pertama ialah karena pada saat itu terjadi Perang Dunia I, negara-negara yang ikut berperang melakukan sensor terhadap segala pemberitaan yang dianggap dapat meruntuhkan moral pasukannya. Oleh karena itu, laporan mengenai penyakit ini tidak dengan serta merta diberitakan kepada masyarakat umum.

Kedua, netralitas Spanyol pada Perang Dunia I menyebabkan negara tersebut tidak melakukan sensor terhadap pers, sehingga publikasi mengenai wabah ini pertama kali dilakukan oleh pers Spanyol. Sejak itulah wabah ini dinamakan Flu Spanyol, bukan Flu Amerika, negara yang mencatat korban pertama, atau Flu Perancis, sebagai daerah yang dianggap pertama kali mencatat merebaknya wabah tersebut secara luas.

Pandemi Influenza 1918 tidak menyerang dalam satu periode, wabah ini menyerang dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama terjadi di awal 1918 dan kemudian mereda di pertengahan tahun diantara bulan Juli dan Agustus. Namun penyebarannya saat itu sudah mewabah ke seluruh wilayah Eropa. Akibat pandemi influenza ini, dalam waktu tiga bulan saja dua setengah juta penduduk Eropa tewas. Hingga akhir Juli, penyakit ini dilaporkan telah melanda wilayah-wilayah luar Eropa seperti Afrika Utara, Cina, India, Filipina, Selandia Baru, dan Hawai.

Pada akhir Agustus, dilaporkan bahwa tiga orang pelaut Amerika yang baru pulang dari Eropa menunjukkan gejala influenza. Lalu kemudian influenza ini masuk melalui negara bagian Massachusetts sebelum akhirnya mewabah di seluruh Amerika Serikat. Dalam waktu yang hampir bersamaan, pada tiga pelabuhan yang jaraknya terpisah ribuan mil, diberitakan meningkatnya angka kematian penduduk. Pelabuhan tersebut adalah Freetown, Sierra Leone; Brest, Prancis; dan Boston, Massachusetts. Brest adalah tempat pendaratan bagi tentara Amerika, dan dari sana kapal-kapal laut dapat dengan mudah dan cepat membawa virus untuk menyebar ke Amerika Utara dan pelabuhan-pelabuhan di Afrika. Gelombang kedua dari pandemi influenza dimulai.

Afrika, Asia, Australia, Pasifik dan Amerika bagian selatan juga tidak luput dari penyebaran influenza yang mematikan ini. Pandemi ini benar-benar seperti menyelimuti bumi.

Di Afrika, penyebaran wabah ini terjadi dengan cepat, melalui jalur kereta api dan kapal laut. Diperkirakan penyakit ini masuk ke Afrika pada awal September. Penduduk asli Afrika menamai penyakit ini dengan berbagai sebutan. Di daerah Selatan Nigeria, penduduk menyebut wabah ini sebagai lululuku – membunuh dengan tiba-tiba, dan belakangan dikenal sebagai ajukale-Arun – wabah yang menyebar dimana-mana. Pada salah satu daerah di Afrika Selatan, Bechuanaland Protectorate Tswana, disebutkan dalam sejarah lokal mereka bahwa wabah ini dikenal sebagai leroborobo atau semgamaga, yang berarti penyakit yang membunuh banyak orang. Penyakit ini juga dikenal sebagai penyakit “Demam Tiga Hari.”

Di Namibia, penyakit ini dikenal sebagai kaapito hanga, yang berarti penyakit ini seperti peluru, datang dengan cepat. Pemberian nama atau istilah terhadap penyakit ini menunjukkan bahwa penyakit ini menimbulkan kesan yang mendalam bagi hampir setiap daerah yang diserangnya. Jumlah total dari seluruh korban yang ada di Afrika ini tidak dapat dipastikan. Tapi berdasarkan data yang didapatkan oleh David Killingray, meskipun dia tidak menyatakan jumlah pasti dari korban pandemi di Afrika , total korban jiwa diperkirakan melebihi satu juta orang.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penyakit ini juga menyebar ke Asia. Menurut Killingray, kematian penduduk Asia akibat ketika penyakit ini sangat tinggi, Dia menambahkan: “bahwa ada ketimpangan besar dalam pengetahuan mengenai dampak dari pandemi ini di seluruh Asia.” Artinya, sedikit sekali ditemukan catatan dan dokumen resmi yang merekam kejadian luar biasa ini. Killingray hanya menceritakan sedikit mengenai dampak pandemi di Asia. Dia menyebutkan bahwa Jepang dan Cina mencatat sedikit peningkatan kematian di tahun 1918 dibandingkan dengan rata-rata jumlah kematian mereka.

Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah korban di Malaysia. Hanya disebutkan bahwa terdapat laporan dari perkebunan tentang tingginya tingkat kematian dan terjadinya “malapetaka yang menakutkan” yang dapat diindikasikan sebagai pandemi influenza. Hanya dua negara yang menjadi fokus dari makalahnya, India dan Ceylon (Srilangka).

India diperkirakan merupakan daerah yang paling parah mengalami dampak pandemi. Daerah ini diperkirakan terinfeksi wabah pada September 1918, saat periode gelombang kedua pandemi 1918. Diperkirakan jumlah total dari korban penyakit influenza di India mencapai 18 juta orang. Sedangkan Ceylon (Srilangka) telah terjangkiti influenza semenjak gelombang pertama pandemi. Tidak disebutkan berapa jumlah korban yang dilaporkan dari daerah ini. Kurangnya data-data dan sedikitnya penelitian mengenai wabah yang terjadi di daerah Asia, juga di Indonesia, menyebabkan ketidaktahuan yang besar bagi dunia ilmu pengetahuan akan imbas wabah penyakit ini di Asia.

Pandemi Influenza tidak hanya menyerang daerah-daerah berpenduduk padat dan benua-benua besar, penyakit ini juga melanda kepulauan-kepulauan yang berada di tengah samudera dan bagian selatan belahan bumi. Kepulauan-kepulauan yang berada di daerah Karibia dan Pasifik juga turut merasakan imbas dari wabah influenza. Pada beberapa kepulauan tertentu, tingkat kematian mencapai 16 persen dari seluruh populasi. Hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di Benua Australia. Otoritas Australia berhasil meredam jumlah korban akibat pandemi influenza sehingga jumlah total korban akibat penyakit ini sampai dengan musim dingin 1918 hanya mencapai 12.000 orang.

Selain tercatat dalam sumber-sumber sejarah lokal dan tradisional, memori tentang terjadinya pandemi influenza juga terekam lewat permainan anak-anak. Sebuah permainan lompat tali melantunkan senandung yang menceritakan penyebaran influenza, dengan lirik seperti dibawah ini:

I had a little bird
And its name was Enza
I opened the window
And in-flew-Enza

Saya memelihara burung kecil
Dan namanya Enza

Saya membuka jendela
Dan terbanglah masuk (Influ)Enza

Pandemi flu juga meninggalkan jejak pada peristiwa penting dalam sejarah dunia, Perjanjian Perdamaian Paris, yang berhasil menghentikan Perang Dunia I. Banyak anggota delegasi dari negara-negara yang terlibat perang terjangkit flu, bahkan beberapa diantaranya meninggal. Absennya mereka dalam lobi dan negosiasi, membuat arah perjanjian damai berubah menjadi lebih lunak. Sebelumnya, para delegasi tersebut sangat sukar menerima poin-poin perjanjian yang akan menghentikan perang antara Jerman dan negara-negara Sekutu. Crosby mencatat dengan baik pengaruh-pengaruh tersebut dalam bab “Flu and The Paris Peace Conference”. Crosby berpendapat bahwa semua “malaise” and “fatique” (kelemasan dan kelelahan) yang disebabkan oleh flu berpengaruh pada hasil keputusan perjanjian damai tersebut, yang berhasil melahirkan Liga Bangsa-Bangsa.

Komentar

  1. Di daerah kami, mungkin wabah inilah yang disebut dengan istilah Ra'ba Biang, meninggal massal. Kisah ini sering diceritakan orang-orang tua dengan penuh rasa sedih.

    BalasHapus

Posting Komentar