Ra'aba Byang, Pandemi Flunya Orang Toraja

“Tiga orang bibi saya meninggal pada waktu bersamaan,” ujar Kun Masora, salah satu pemuka masyarakat adat Tana Toraja.

“Itu terjadi di tahun 1918,” ujarnya dalam keterangan wawancara pada tanggal 3 April 2009.

“Tragedi tersebut terjadi di tahun 1918. Mereka semua meninggal setelah demam tinggi berhari-hari,” tutur pria berusia 70 tahun itu, sambil berusaha mengingat kembali cerita yang dikisahkan oleh ibunya tentang wabah raya yang menyerang Toraja 91 tahun yang lalu.

Ibu Masora, yang meninggal di tahun 1995, berulangkali menceritakan wabah pembunuh massal tersebut kepada anak-anaknya. Cerita wabah tersebut juga tercatat dalam tradisi lisan yang disampaikan secara turun temurun.

Kesaksian Masora membuktikan bahwa Indonesia juga mengalami pandemi influenza mematikan, sama seperti yang dialami Amerika Serikat dan Eropa.
Saat ini, para ahli kesehatan dan sejarawan sedang menganalisa cara-cara pemerintah di dunia merespon pandemi 1918 agar dapat mempelajari pola penyebaran virus dan langkah-langkah yang harus diambil untuk menghindari bencana kemanusiaan yang besar.
Orang Toraja lebih mengenal wabah flu mematikan tersebut dengan nama Raa’ba Biang, yang kira-kira atinya ialah “pohon yang berjatuhan”. Pada saat wabah tersebut merebak, ratusan orang Toraja meninggal dunia dalam seketika.

Catatan medis dari Pemerintah Kolonial Belanda, yang saat itu menjajah Tana Toraja dan sebagian besar kepulauan Nusantara, menyatakan bahwa kematian masif tersebut disebebkan oleh wabah raya influenza mematikan.

Para sejarawan Universitas Indonesia, yang menemukan catatan medis tersebut, menerangkan bahwa tragedi tersebut adalah bagian dari sebuah pandemi global yang dikenal dengan Pandemi Flu Spanyol. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), pandemi 1918 menewaskan lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia.

Pemerintah kolonial memperkirakan sekitar 10 persen dari 3.000 populasi Toraja meninggal. Sementara, menurut pengakuan ibunda Masora,hampir setengah populasi Toraja saat itu meninggal dunia.

Tato Dena, tokoh adat Toraja lainnya, mengatakan bahwa kematian masif dan serentak tersebut disebabkan oleh sebuah penyakit yang menular antarmanusia.

“Kata Ayah saya: ‘Udara bagai diracuni’. Tidak ada satu keluargapun yang tidak kehilanggan anggotanya,” cerita pria berumur 71 tahun ini. Kakeknya menjadi korban pandemi 1918.

“Bahkan orang yang pergi menguburkan, meninggal setelah bersentuhan dengan jasad yang dikubur. Ayah saya bilang saat itu penduduk tidak punya waktu untuk mengubur orang jadi hanya diletakkan di pemakaman-pemakaman di seluruh Toraja,” tambahnya.

Dalam catatan Sejarawan Australia, Colin Brown, dinyatakan bahwa Tana Toraja mencatat kematian masif karena pandemi influenza.[1] Catatan Brown didukung oleh kesaksian dua pemuka adat Toraja yang ditemui di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, April 2009.

Cerita wabah tersebut juga tercatat dalam tradisi lisan yang disampaikan secara turun temurun. Orang Toraja lebih mengenal wabah flu mematikan tersebut dengan nama Raa’ba Biang, yang kira-kira atinya ialah “pohon/dahan/ilalang yang berjatuhan”. Pada saat wabah tersebut merebak, ratusan orang Toraja meninggal dunia dalam seketika.

Catatan medis dari Pemerintah Kolonial Belanda, yang saat itu menjajah Tana Toraja dan sebagian besar kepulauan Nusantara, menyatakan bahwa kematian masif tersebut disebabkan oleh influenza yang mematikan.

Dalam catatan Brown, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memperkirakan sekitar 10 persen dari 3.000 populasi Toraja meninggal. Sementara, menurut pengakuan Masora, hampir setengah populasi Toraja saat itu meninggal dunia.

Dengan bantuan seorang anak dari Tato Dena, penulis ditunjukkan bukti adanya kuburan massal di Toraja dimana tengkorak dan tulang belulangnya berserakan, tidak dimakamkan di dalam liang satu per satu layaknya adat Toraja. Tradisi dan kepercayaan setempat mengajarkan setiap yang meninggal disimpan dalam sebuah liang yang dipahat pada sebuah tebing atau punggung gunung.

“Itu tandanya, mayat-mayat tersebut belum sempat dikubur,” katanya.




[1] Colin Brown, “The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia”, dalam Norman G.Owen(ed.), Death and Disease in Southeast Asia: Explorations of Social, Medical and Demographic History, Singapore: Singapore University Press, 1987.

Komentar