Wabah Raya yang Terlupakan


Oleh: Arie Rukmantara

Kata “pandemi influenza” ialah terma kesehatan yang sempat merebut perhatian masyarakat dunia, terutama setelah merebak wa bbah flu babi asal Mexico, namun kini gaungnya menyurut.

Meskipun Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) bersikukuh menyatakan bahwa pandemi (wabah raya) influenza H1N1 yang terjadi sejak Juni tahun lalu ini belum berakhir, namun realita menyatakan sebaliknya. Hampir tidak ada seorang pemimpin dunia pun yang masih berbicara tentang pentingnya penanganan pandemi. Apalagi di tingkat masyarakat. Di ujung musim penghujan yang rawan dengan influenza kini pun, banyak yang tak sadar bahwa dunia masih dilanda pandemi influenza (lebih dikenal dengan nama wabah flu babi).

WHO menyatakan penyebarannya sudah merambah lebih dari 200 negara dan wilayah kedaulatan/persemakmuran dan telah menginfeksi jutaan orang, dimana lebih dari 16.000 diantaranya meninggal dunia. Sepuluh dari sekitar 1000 orang Indonesia yang tertular flu H1N1 juga meninggal dunia.

Meskipun begitu pesat penyebarannya (morbidity) dan begitu banyak korbannya (mortality), pandemi influenza kali kemungkinan besar akan dilupakan dan terlupakan.

Mengapa? Sejarah pandemi influenza 1918, yang juga disebabkan oleh virus H1N1, menunjukkan kecenderungan serupa—dilupakan dan terlupakan.

Pandemi influenza 1918 merenggut sekitar 50 juta nyawa di dunia, termasuk di Hindia Belanda. Tim peneliti Departemen Ilmu Sejarah Universitas Indonesia dalam penelitiannya yang bertajuk Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda (Jakarta: Komnas FBPI, 2009) memperkirakan sekitar 1,5 juta orang di Nusantara meninggal dunia akibat wabah raya flu mematikan yang menyerang di awal 1918 sampai dengan pertengahan 1919.

Namun kenyataannya peristiwa tersebut tidak tersimpan sebagai ingatan kolektif penduduk Indonesia. Tragedi kemanusiaan maha dahsyat tersebut tidak tercantum dalam buku teks sejarah Indonesia dan hampir tidak pernah ada yang berdongeng tentang bencana kesehatan terbesar sepanjang abad ke-20 tersebut.

Penduduk Indonesia bukan satu-satunya yang hilang ingatan tentang pandemi flu 1918 yang populer disebut wabah Flu Spanyol. Seorang sejarawan kesehatan Amerika Serikat, Alfred W. Crosby, menyatakan bahwa masyarakat Amerika Serikat lupa memperbincangkan apa yang terjadi lebih dari 90 tahun yang lalu tersebut dalam kelas-kelas sejarah mereka. Padahal, Amerika Serikat adalah negara yang paling menderita akibat serangan mahluk mikrobiologis bertipe H1N1 itu.

Dalam karyanya America’s Forgotten Pandemic, Crosby mengemukakan bahwa Amerika kehilangan lebih banyak tentara karena terjangkit influenza di tahun 1918 dibandingkan dengan jumlah korban perang manapun yang mereka ikuti sejak 1867.

Karya-karya sastra Amerika pun tidak banyak menyitir pandemi influenza 1918. Hanya para sastrawan yang benar-benar kehilangan sanak saudaranya memasukkan deskripsi pandemi dalam karya-karya fiksi mereka, begitu juga dengan para sejarawannya.

Crosby menjelaskan bahwa pandemi dilupakan dan terlupakan karena perhatian warga dunia tersita oleh hiruk-pikuk Perang Dunia I, serta ketegangan yang mewarnai proses penciptaan perdamaian untuk mengakhiri perang tersebut. Seperti yang tercatat dalam sejarah dunia, perjanjian damai Paris 1919 yang mengakhiri Perang Dunia I melahirkan Liga Bangsa-Bangsa, embrio dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Saat ini, perhatian dunia pun tersita oleh dua perang yang tak kunjung usai—Afghanistan dan Iraq—serta runtutan bencana yang meluluhlantakan hampir satu negara, baik di Haiti, Kolombia, dan belahan dunia lainnya. Panggung politik dunia—seluk-beluk Barack Obama dan mandegnya perundingan perubahan iklim, lebih menarik perhatian warga dunia dibandingkan dengan meninggalnya sekitar 16.000 orang karena flu akut.

Di konteks lokal, tentunya huru-hara Cicak versus Buaya, kasus Bank Century dan polemik yang menyertainya, ditambah bencana longsor dan perburuan teroris jauh lebih “seksi” dibandingkan 10 orang saudara sebangsanya menghembuskan nafas karena terserang virus H1N1.

Kemungkinan lain pandemi pertama di abad ke-21 ini akna terlupakan ialah bahwa diantara 16.000 jiwa yang melayang, tidak terdapat tokoh dunia maupun nasional. Pandemi flu H1N1 memang menulari Presiden Kolombia, namun tidak sampai merenggut nyawanya.

Begitu juga yang terjadi di tahun 1918, pandemi memang membunuh jutaan rakyat dan tentara Amerika, tapi tidak menewaskan Presiden Woodrow Wilson. Hanya Max Weber, ekonom dan sosiolog Jerman, satu-satunya tokoh dunia ternama yang meninggal karena tertular Flu Spanyol.

Crosby menyebut fenomena hilangnya ingatan sejarah rakyat dunia itu dengan sebutan “peculiarities of human memory” (keganjilan dalam ingatan manusia). Penulis buku pandemi lainnya, John Farndon, mengamini pernyataan Crosby dengan mengutip filsuf Albert Camus:

A dead man has no substance unless one has seen him dead; a hundred million corpses broadcast through history are no more than a puff of smoke in the imagination.

Orang meninggal tidak punya arti apa-apa kecuali orang melihat prosesnya meninggal; seratus juta mayat sepanjang sejarah tidak lebih dari sebuah asap imajinasi.

Memang tragis, namun benar. Kematian berapa juta pun rakyat dunia jadi tidak berarti apabila mereka rakyat biasa dan proses kematiannya tidak disaksikan bersama-sama, kira-kira itulah teori Crosby dan Farndon.

Keganjilan Ingatan Orang Indonesia

Sebenarnya keganjilan (peculiarities) yang disitir Crosby sudah terbukti. Kenyataannya makalah Colin Brown, sejarawan Australia, penulis “The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia” yang diterbitkan dalam buku Death and Disease in Southeast Asia, di tahun 1987, tidak pernah didiskusikan orang, bahkan di kalangan akademisi dan sejarawan sekalipun.

Padahal Brown mencatat meski korban pandemi 1918 di Hindia Belanda tidak kalah besarnya dengan korban di India, Cina dan Iran. Keakuratan estimasi Brown ini kemudian dikaji-ulang oleh tujuh orang sejarawan Universitas Indonesia yang menggali lebih dalam bukti-bukti sejarah pandemi 1918. Angka 1,5 juta kematian saat populasi Hindia Belanda diperkirakan masih berkisar 30 juta orang adalah angka yang fenomenal! Artinya lima persen dari populasi Nusantara meregang nyawa karena flu.

Namun tidak ditemukan nama tokoh pergerakan nasional dalam daftar korban tersebut. Fakta tersebut membantu kita untuk melupakan fragmen sejarah tersebut. Wabah raya flu 1918 menjadi tidak signifikan bagi perjalanan menuju lahirnya Republik Indonesia. Begitu juga nasib yang akan menimpa pandemi flu 2009. Dari deretan 10 nama korban tewas tidak ditemukan tokoh nasional. Ditambah kalahnya isu pandemi dibandingkan dengan isu-isu nasional dan internasional lainnya. Jadi, kemungkinan besar pandemi ini juga akan terlupakan.

Salah satu solusi mencegah “keganjilan ingatan” ini berlanjut ialah dengan merekam jejak respon pandemi H1N1 oleh berbagai pihak—pemerintah, swasta dan masyarakat. Harapannya, generasi masa depan, yang berpotensi menghadapi pandemi versi mereka, dapat belajar dari apa yang kita lakukan saat ini.

Sejarah tidak pernah hanya untuk masa lalu, sejarah adalah pelajaran untuk masa kini dan rujukan perencanaan masa depan.

Arie Rukmantara adalah peminat sejarah. Konsultan komunikasi kesehatan dan lingkungan dan anggota peneliti Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda.

Komentar