Saatnya Akhiri Kutukan Sejarah


Punyakah kita telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan hati untuk peduli dengan apa yang pernah terjadi? Menjadikannya pelajaran berharga untuk menghindari kesalahan yang sama?

Pertanyaan-pertanyaan diatas wajib kita, Bangsa Indonesia, renungkan bersama di akhir minggu lalu, 25 April 2010, saat dunia memperingati Hari Malaria se-Dunia (HMS/ World Malaria Day).

Peringatan HMS yang ketigakalinya ini, mengajak warga dunia menyadari fakta pahit bahwa Malaria, penyakit yang sudah termaktub dalam kitab-kitab sastra kuno sejak lebih dari 12 ribu tahun yang lalu, ternyata masih menghantui kita. Malaria masih membunuhi jutaan orang tiap tahunnya, terutama di Asia dan Afrika. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Kampanye Roll Back Malaria 2010 menyebutkan bahwa setiap 30 detik, satu orang anak meninggal dunia karena malaria.

Termasuk di Indonesia. Diperkirakan penyakit yang menular lewat parasit dan nyamuk (parasitic and mosquito borne disease) ini menewaskan 30 ribu penduduk Indonesia setiap tahunnya dan menyebabkan 10-12 juta orang menderita malaria, mengakibatkan berbagai kerugian, terutama kerugian potensial absen bekerja karena harus menjalani perawatan intensif.

Data terbaru dari Kementerian Kesehatan menyebutkan lebih dari satu juta orang terkena malaria tahun lalu.

Angka-angka diatas adalah refleksi dari kealpaan kita belajar sejarah. Kita gagal mendalami arti sebuah petuah dari seorang filsuf Spanyol, George Santayana, yang berkata: “Those who cannot learn from history are doomed to repeat it.” Mereka yang tidak belajar sejarah, terkutuk untuk mengulanginya.

Malaria yang tetap merajalela sampai detik ini dapat dikatakan bentuk kutukan sejarah versi Santayana. Penyakit kuno yang sudah diperbincangkan sejak zaman Hipokrates sampai dengan Shakespeare masih belum juga dapat kita musnahkan. Bill Gates menyebutnya sebagai “the worst thing on the planet”.

Lebih terkutuk lagi ketika sebenarnya sejarah bangsa ini mencatat ikrar membasmi malaria berkali-kali.

Begitu seriusnya bangsa ini ingin bebas dari malaria, sampai-sampai apa yang kita peringati sebagai Hari Kesehatan Nasional sekarang, 12 November 2010, adalah hari dimana kampanye antimalaria pertama diluncurkan. Pada tanggal itu, di tahun 1959, presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, secara simbolis menyemprotkan cairan pembasmi nyamuk malaria DDT (Dichiloro Diphendyl Michloroetan), insektisida pembasmi nyamuk anopheles—nyamuk pembawa parasit plasmodia—penyebab malaria.

Dalam rangka lebih membuktikan keseriusannya, Pemerintah Orde Lama mendirikan Lembaga Malaria, lembaga khusus untuk mempercepat dan memperluas pelaksanaan assaeinering dan kininisasi, yakni pemberantasan tempat berkembang- biak nyamuk dengan meniadakan air tergenang, menyemprot air dengan minyak tanah, residu, atau memerangi jentik-jentik dengan secara biologik dengan ikan. Dan juga kampanye penyemprotan dari rumah ke rumah serta pemberian pil kina kepada pasien.

Tak hanya berhenti disitu, dalam suasana revolusi kemerdekaan yang gegap-gempita, pasukan antimalaria pun dibentuk. Orde Lama membentuk Kopem, Komando Pembasmi Malaria, kelompok khusus yang bertugas membasmi malaria yang merupakan “milisi” kesehatan pertama dalam sejarah Indonesia merdeka.
Satuan tugas yang lahir di tahun 1963 ini tujuannya bahkan bertekad melakukan pemusnahan (malaria eradication), tidak lagi pengendalian (malaria control). Perang terhadap malaria pun dikobarkan.

Kopem bersifat semi militer, bahkan bentuk dan struktur organisasinya pun mirip pola militer, lengkap dengan jabatan komandan pada tiap tingkatan dari pusat sampai dearah. Kopem berprinsip menargetkan total coverage, menyemprot seluruh bangunan yang didiami manusia Indonesia.

Dalam kurun satu tahun, sekitar 36 ribu tentara Kopem yang bergerak telah berhasil melindungi 64,5 juta manusia Indonesia dari malaria dengan berhasil menyemprot hampir 170 ribu kilometer persegi wilayah di Indonesia, atau sama dengan wilayah dimana 70 persen orang Indonesia saat itu bermukim. Tindakan mendapat dukungan dari dunia internasional. Berbagai organisasi internasional, World Health Organization (WHO) dan USAID (United States Agency for International Development) pun turut memberikan bantuannya menyukseskan kampanye antimalaria ini.

Sebenarnya, perang terhadap malaria telah dilakukan sejak masa kolonial. Menyadari bahwa malaria adalah ancaman terbesar kesehatan masyarakat Hindia Belanda, pada tahun 1911 pemerintah jajahan mendirikan Jawatan Sipil Kesehatan untuk menyelidiki dan memberantas malaria. Upaya tersebut masih ditingkatkan 13 tahun kemudian dengan mendirikan Biro Malaria Pusat (Centrale Malaria Bureau). Namun sayang, perang dunia kedua dan kedatangan Jepang, mengakhiri upaya-upaya perlindungan kesehatan ini.

Sejarah perjalanan perang melawan malaria naik-turun dan cenderung makin terlupakan. Upaya pemerintah kolonial Hindia Belanda memerangi malaria hangus saat Jepang datang mengambilalih. Kemudian komitmen pemerintah Orde Lama dengan pendekatan semi militeristiknya, hilang saat huru–hara politik 1965 mencuat. Dan kini, kita semakin tenggelam oleh hingar-bingar kemajuan teknologi dan percepatan pembangunan fisik, namun gagal mengingat saudara-saudara kita dari Sabang sampai dengan Merauke masih meninggal karena penyakit tua yang sudah diperangi berabad-abad lamanya. Puluhan generasi dalam 60 tahun lebih kemerdekaan, belum berhasil melindungi penerusnya dari nyamuk–nyamuk pembunuh yang masih berkeliaran.

Saatnya bertindak kembali. Kematian terus-menerus saudara-saudara kita oleh penyakit sudah ketahui cara pencegahannya, tidak boleh terus dibiarkan. Kementerian Kesehatan sudah bertekad mengeliminasi malaria pada tahun 2030 dari seluruh Indonesia. Dan beberapa pemerintah daerah sudah menunjukkan komitmen dengan mengalokasikan anggaran berkesinambungan bahkan dengan mendirikan Pusat Pengendalian Malaria (Malaria Center) atau Pos Malaria Desa (Posmaldes) sebagai unit koordinasi dan aksi yang melibatkan multisektor.

Mengapa semua bidang harus bekerjasama? Karena hajat hidup nyamuk-nyamuk yang membawa parasit mematikan itu, berkaitan erat dengan sektor nonkesehatan: pertambakan, rawa-rawa, kebersihan lingkungan, yang berarti melibatkan sektor transportasi, perdagangan, pertanian dan berbagai sektor lainnya.

Dengan momentum Hari Malaria Sedunia, 25 April 2010, kita sangat berkepentingan untuk memastikan kita punya telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan hati untuk peduli pada pelajaran masa lampau untuk memahami masa kini. Untuk memastikan konsistensi kita mengenyahkan beban lama dan memfokuskan diri menjawab tantangan baru.

Arie Rukmantara adalah penulis lepas kesehatan dan lingkungan serta konsultan komunikasi risiko. Dia dapat dihubungi di rukmantara@gmail.com.

Komentar