Pandemi Influenza yang Akan Terlupakan


Meskipun saat ini kata pandemi influenza sudah mulai dikenal masyarakat umum, namun gaungnya masih terbatas pada kota-kota besar dan wilayah-wilayah transit orang bepergian. Masyarakat pedalaman atau pedesaan, bahkan penduduk di pinggiran kota pun, masih asing dengan istilah yang mulai muncul sejak Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan dunia dalam situasi pandemi (wabah raya) influenza sejak tanggal 11 Juni 2009.

Walau begitu pesat penyebarannya dan begitu banyak korbannya, pandemi influenza kali ini tetap akan dilupakan orang. Mengapa? Belajar dari fakta sejarah pandemi influenza 1918, yang juga disebabkan oleh virus H1N1, maka asumsi tersebut dapat terjadi.

Pandemi influenza 1918, yang merenggut sekitar 50 juta nyawa di dunia, bukanlah peristiwa yang tersimpan di banyak ingatan kolektif warga dunia. Tidak seperti saat warga dunia mengingat runtuhnya tembok berlin atau meninggal Gandhi.

Dalam ingatan kolektif masyarakat Amerika Serikat, yang paling menderita akibat pandemi influenza mematikan tersebut, pandemi flu 1918 tidak banyak diperbincangkan ketika pandemi itu sendiri berakhir di tahun 1919.

Sejarawan Kesehatan Amerika Serikat, Alfred W. Crosby dalam karyanya America’s Forgotten Pandemic mengemukakan bahwa dampak yang luar biasa yang ditimbulkan oleh pandemi influenza 1918 tidak membekas di ingatan rakyat Amerika Serikat. Padahal, Amerika kehilangan lebih banyak tentara karena terjangkit influenza di tahun 1918 dibandingkan dengan jumlah korban perang manapun yang mereka ikuti sejak 1867.

Menurut Crosby, bahkan Kongres Amerika pun tidak pernah memberikan alokasi anggaran khusus untuk meneliti penyebab pandemi influenza. Kenaikan anggaran otoritas kesehatan masyarakat, atau dikenal dengan nama United States Public Health Service (USPHS), lebih disebabkan terjadinya peningkatan populasi dan meningkatnya kesadaran para politisi Amerika tentang pentingnya kesehatan masyarakat, bukan didorong oleh tragedi pandemic flu 1918. Meskipun hal ini ditentang oleh Gary Gernhart, sejarawan USPHS yang menyatakan bahwa kongres menaikkan anggaran USPHS sebanyak 1 juta dolar Amerika Serikat khusus untuk memerangi Flu Spanyol (sebutan bagi Flu H1N1 1918). Namun setelah itu, tidak ada lagi catatan tentang penambahan dana terhadap anggaran kesehatan Amerika Serikat untuk menyelidiki penyebaran pandemi influenza 1918.

Karya-karya sastra Amerika pun tidak banyak menyebutkan peristiwa pandemi influenza 1918. Hanya para sastrawan yang benar-benar kehilangan sanak saudaranya memasukkan deskripsi pandemi dalam karya-karya fiksi mereka, begitu juga dengan para sejarawannya. Menurut Crosby, dari beberapa sejarawan yang karyanya menjadi pegangan kuliah Sejarah Amerika, hanya Thomas A. Bailey yang menyebutkan terjadinya pandemi influenza 1918 di Amerika. Itupun ditulis hanya dalam satu kalimat.

Salah satu alasan mengapa pandemi influenza 1918 dilupakan, menurut Crosby, ialah bahwa kejadian pandemi tertutupi oleh hiruk-pikuk Perang Dunia I, serta ketegangan yang mewarnai proses penciptaan perdamaian untuk mengakhiri perang tersebut.

Alasan lainnya, yang menjelaskan fenomena hilangnya ingatan kolektif warga dunia terhadap pandemi flu 1918 ialah bahwa pandemi tersebut tidak membunuh tokoh penting Amerika saat itu.

Pandemi memang membunuh jutaan rakyat dan tentara, tapi tidak menewaskan Presiden Woodrow Wilson. Pandemi merenggut nyawa putri Jenderal Edwards, komandan Divisi 26 AEF (American Expeditionary Force), pasukan yang dikirmkan ke Eropa untuk Perang Dunia I, tapi tidak membunuh Sang Jenderal. Pandemi merenggut nyawa anak-anak seorang senator, Albert B. Fall, namun Sang Senator selamat. Pandemi menewaskan anak perempuan Samuel Gompers, pemimpin organisasi buruh terkemuka, meski begitu, Samuel bertahan hidup.

Max Weber, ekonom dan sosiolog Jerman, mungkin satu-satunya tokoh dunia ternama yang meninggal karena tertular Flu Spanyol.

Crosby menyebut fenomena hilangnya ingatan sejarah rakyat Amerika itu dengan sebutan “peculiarities of human memory” (keganjilan dalam ingatan manusia). Penulis buku pandemic lainnya, John Farndon, menguatkan pernyataan Crosby dengan mengutip filsuf Albert Camus:

A dead man has no substance unless one has seen him dead; a hundred million corpses broadcast through history are no more than a puff of smoke in the imagination.

Orang meninggal tidak punya arti kecuali orang-orang melihat prosesnya meninggal; seratus juta mayat sepanjang sejarah tidak lebih dari sebuah bentuk imajinasi.

Gina Kolata, juga salah satu penulis buku tentang pandemi, menambahkan bahwa kemajuan pesat ilmu kesehatan, serta bertambahnya masalah-masalah baru di bidang kesehatan, membantu percepatan proses hilangnya ingatan manusia terhadap pandemi flu 1918 tersebut. Tiap penemuan dalam dunia kesehatan membantu orang untuk merasa lega dan merasa bahwa ancaman kesehatan seperti flu tidak lagi mengkhawatirkan. Sedangkan tantangan baru, munculnya penyakit baru hampir setiap 18 bulan sekali atau paling tidak setahun sekali, membuat manusia merasa bahwa masalah kesehatan akan tetap ada dan terus menerus menyita perhatian dan akhirnya, membantu melupakan pada masalah lama.

Sama halnya dengan masalah avian influenza atau flu burung, yang seakan menghilang dengan hadirnya pandemi flu H1N1-2009, yang menyita perhatian para ahli, pejabat dan media yang sama yang sebelumnya bekerja mengendalikan penyebaran virus H5N1 flu burung.

Apabila flu H1N1-2009 ini tetap saja menyebar di kalangan rakyat umum, tidak menjangkiti (baca: membunuh) tokoh ternama negeri ini, besar kemungkinan kita juga akan mengalami “keganjilan ingatan” akan pandemi ini.

Sebenarnya peculiarities sudah terjadi dengan dalam memori histories kita. Kenyataan bahwa paper Colin Brown, sejarawan Australia, yang menulis “The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia” yang diterbitkan dalam buku Death and Disease in Southeast Asia yang diterbitkan tahun 1987 tidak pernah didiskusikan orang, bahkan di kalangan akademisi negeri ini pun, sudah menjadi bukti “keganjilan ingatan” kita.

Colin mencatat meski korban pandemi 1918 di Hindia Belanda, kalah besar dengan korban di India, Cina dan Iran, namun sekitar 1,5 juta orang Indonesia diperkirakan meninggal dunia karena influenza. Keakuratan estimasi ini sedang ditelusuri oleh tujuh orang sejarawan Universitas Indonesia yang sedang menggali lebih dalam bukti-bukti sejarah pandemi 1918. Namun angka 1,5 juta saat populasi Hindia Belanda diperkirakan masih berkisar 30 juta orang bukanlah angka yang kecil.

Namun, dengan tidak ditemukannya nama tokoh pergerakan nasional dalam daftar korban tersebut, maka ingatan kolektif kitapun tidak menyimpan fakta tersebut. Bahkan tidak pernah akrab dengan istilah pandemi. Tanpa melihat signifikansi kematian nenek moyang kita di tahun 1918 bagi perjalanan sejarah bangsa ini, maka kemungkinan pandemi 1918, dan juga pandemi 2009 ini, sekali lagi…akan dilupakan.

Arie Rukmantara

Peminat sejarah. Konsultan Komunikasi Resiko.


Komentar